PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9/PMK.03/2013
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan;
b. bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana tersebut pada huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (5) dan Pasal 26A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 serta Pasal 30 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
- Surat Keberatan adalah surat yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan terhadap suatu surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
- Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
- Penyampaian Surat Keberatan secara elektronik yang selanjutnya disebut e-Filing adalah suatu cara penyampaian Surat Keberatan yang dilakukan secara on-line yang real time melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
- Bukti Penerimaan Elektronik adalah informasi yang berisi nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, tanggal, jam, Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE) yang tertera pada hasil cetakan bukti penerimaan dalam hal e-Filing dilakukan melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak, atau informasi yang berisi nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, tanggal, jam, Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE) dan Nomor Transaksi Pengiriman ASP (NTPA), serta nama perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP), yang tertera pada hasil cetakan surat permohonan, dalam hal e-Filing dilakukan melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
- Surat Pemberitahuan Untuk Hadir adalah surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan dari tim peneliti keberatan.
- Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
- Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil; atau
e. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A Undang-Undang KUP tidak dapat diajukan keberatan.
(3) Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
(4) Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.
(5) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Keberatan.
(6) Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB III
PENGAJUAN KEBERATAN
Pasal 3
(1) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
d. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
1) surat ketetapan pajak diterbitkan; atau
2) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
e. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
f. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.
(2) Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf e, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terlampaui.
(3) Tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.
(4) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. tidak menunda kewajiban membayar pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
b. tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 4
(1) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
e. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
1) surat ketetapan pajak dikirim; atau
2) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
g. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.
(2) Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terlampaui.
(3) Tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jangka waktu pelunasan pajak yang masih harus dibayar yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
Pasal 5
(1) Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dan Pasal 4 ayat (1) huruf e meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. huru-hara/kerusuhan massal;
d. diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera dalam surat ketetapan pajak berubah, kecuali Surat Keputusan Pembetulan yang diterbitkan akibat hasil Persetujuan Bersama; atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Keputusan Pembetulan dikirim.
Pasal 6
Dalam hal setelah Wajib Pajak mengajukan keberatan terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak secara jabatan yang mengakibatkan persyaratan jumlah pajak yang masih harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d bertambah, proses penyelesaian keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut tetap dilanjutkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7
(1) Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau Pasal 4 ayat (1) tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
(2) Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat pemberitahuan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
(1) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) bukan merupakan Surat Keputusan Keberatan sehingga tidak dapat diajukan banding ke badan peradilan pajak.
(2) Dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) terkait dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.
Pasal 9
(1) Wajib Pajak menyampaikan Surat Keberatan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan yang dapat dilakukan:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain.
(2) Penyampaian Surat Keberatan melalui pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penyampaian Surat Keberatan melalui pos yang mempunyai bukti pengiriman surat secara tercatat.
(3) Penyampaian Surat Keberatan dengan cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
b. e-Filing.
(4) Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman Surat Keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Atas Penyampaian Surat Keberatan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan bukti penerimaan surat yang diberikan oleh petugas yang ditunjuk pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(6) Atas Penyampaian Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
(7) Bukti penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf a, dan Bukti Penerimaan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6), merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan.
(8) Tanggal yang tercantum dalam tanda bukti penerimaan Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.
Pasal 10
(1) Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menambah jangka waktu pengajuan keberatan yang harus dipatuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dan Pasal 4 ayat (1) huruf e.
BAB IV
PENCABUTAN PENGAJUAN KEBERATAN
Pasal 11
(1) Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak.
(2) Pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyampaian permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
c. surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat persetujuan atau surat penolakan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
(1) Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang terkait dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.
BAB V
PENYELESAIAN KEBERATAN
Pasal 13
(1) Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
a. meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi;
b. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
c. meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan melalui penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
d. meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;
e. melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
f. melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, Wajib Pajak harus menyerahkan asli bukti
pemotongan atau pemungutan pajak.
(3) Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim.
(4) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Wajib Pajak tidak
meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan
keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan:
a. surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau
b. surat permintaan keterangan yang kedua.
(5) Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang kedua dikirim.
(6) Dalam hal masih diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminjam buku, catatan, data, dan informasi dan/atau meminta keterangan tambahan, dan Wajib Pajak harus meminjamkan buku, catatan, data, dan informasi dan/atau memberikan keterangan yang diminta dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam:
a. surat permintaan peminjaman tambahan; dan/atau
b. surat permintaan keterangan tambahan.
(7) Surat permintaan peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, surat permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, surat permintaan peminjaman kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, surat permintaan keterangan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, surat permintaan peminjaman tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, dan surat permintaan keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya permintaan peminjaman dan/atau permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), atau ayat (6), dan/atau tidak menyerahkan asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keberatan tetap diproses sesuai dengan data yang ada atau yang diterima dan dibuat berita acara dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9) Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk melengkapi dan/atau memperjelas Surat Keberatan yang telah disampaikan baik atas kehendak Wajib Pajak yang bersangkutan maupun dalam rangka memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir.
(10) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
(11) Pembahasan dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(12) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan.
Pasal 14
(1) Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diminta pada saat pemeriksaan tetapi tidak diberikan oleh Wajib Pajak, tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
(2) Dalam hal terdapat pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diminta pada saat pemeriksaan tetapi diperlukan dan diminta oleh Direktur Jenderal Pajak serta diberikan oleh Wajib Pajak dalam penyelesaian keberatan, maka pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak tersebut dapat dipertimbangkan.
(3) Dalam hal terdapat pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diminta pada saat pemeriksaan dan keberatan tetapi diberikan oleh Wajib Pajak dalam penyelesaian keberatan, maka pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak tersebut dapat dipertimbangkan.
(4) Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan atas surat ketetapan pajak yang penghasilan kena pajaknya dihitung secara jabatan terbatas pada:
a. dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan
b. dokumen kredit pajak sebagai pengurang Pajak Penghasilan.
Pasal 15
(1) Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir yang dilampiri dengan:
a. pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan; dan
b. formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan.
(2) Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan, dan formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Pemberian keterangan dari Wajib Pajak atau pemberian penjelasan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara kehadiran yang dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan hak untuk hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dibuat berita acara ketidakhadiran dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
b. proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.
(5) Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak bersifat final dan bukan merupakan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Pasal 16
(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan mengajukan MAP secara bersamaan namun Persetujuan Bersama belum diperoleh pada saat Surat Keputusan Keberatan diterbitkan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan mempertahankan temuan pemeriksaan dalam surat ketetapan pajak yang diajukan MAP.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan mengajukan MAP secara bersamaan dan Persetujuan Bersama telah diperoleh sebelum Surat Keputusan Keberatan diterbitkan, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan Persetujuan Bersama dalam Surat Keputusan Keberatan.
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan atas keberatan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan laporan penelitian keberatan.
(3) Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar yang dituangkan dalam Surat Keputusan Keberatan.
(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.
(6) Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Wajib Pajak:
a. secara langsung dengan bukti tanda terima;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
(1) Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang KUP.
(2) Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(3) Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dikenakan dalam hal:
a. Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
b. pengajuan keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); atau
c. Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:
1. terhadap Surat Keberatan yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, proses penyelesaian selanjutnya sampai dengan penerbitan Surat Keputusan Keberatan dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;
2. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan MAP secara bersamaan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 12