Lies Tania Tantri & Associates, 9 Oktober 2014
Penegasan Pelaksanaan PP 46 Tahun 2013 PPh Final 1%
Walaupun telah lebih dari 1 (satu) tahun ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 diberlakukan, namun pada prakteknya masih ditemukan banyaknya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pengenaan PPh sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tanggal 17 September 2014.
Beberapa hal yang ditegaskan dalam SE-32/PJ/2014 sehubungan dengan pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
1. Objek Pajak Penghasilan
Penghasilan yang dikenai PPh Final sebesar 1% berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
– Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013,
– Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
– Penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
– Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan Saat Beroperasi Secara Normal
Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali. Bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
– Jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
– Dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana disebutkan di atas, dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial ini melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan PPh berdasarkan tarif umum UU PPh berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
Pengenaan PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, untuk tahun selanjutnya ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
Contoh 1:
PT ABCD (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT ABCD dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan hingga 31 Desember 2014).
Untuk pengenaan PPh pada tahun 2015 adalah dengan memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
Contoh 2:
PT CDE (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT CDE dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013).
Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
Contoh 3:
PT XYZ (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT XYZ dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).
Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
Contoh 4:
PT KLM (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT KLM dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).
Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
3. Perlakuan PPh Untuk Wajib Pajak dengan Jenis Usaha Tertentu
a. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Badan atau Lembaga Nirlaba Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan
Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan perlakuannya adalah sebagai berikut.
– Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut adalah bukan merupakan penghasilan yang bukan objek PPh.
– Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana diuraikan di atas tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek PPh.
Oleh sebab itu, perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan adalah mengacu kepada ketentuan tarif umum PPh.
b. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Reksa Dana
Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sesuai UU Pasar Modal.
Aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP 46 Tahun 2013.
c. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Bank/Bank Perkreditan Rakyat/Koperasi Simpan Pinjam/Lembaga Pemberi Dana Pinjaman
Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
– Pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberi kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman,
– Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh.
d. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak OPPT)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Bagi Wajib Pajak OPPT yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan PPh bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum UU PPh dan pembayaran angsuran PPh mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) UU PPh yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.
e. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah:
– Mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
– Dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
Perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT adalah mengacu pada ketentuan umum UU PPh yang dikenakan tarif PPh umum.
4. Penegasan Mengenai Ketentuan Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Sesuai Ketentuan PP 46 Tahun 2013
a. Ketentuan Penyetoran PPh
Wajib Pajak wajib menyetorkan PPh terutang ke kas negara melalui:
– Kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP;
– Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu dimana Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaa Negara (NTPN) dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: untuk setoran PPh Final 1% masa pajak September 2014 disetorkan paling lambat tanggal 15 Oktober 2014.
b. Ketentuan Pelaporan SPT Masa
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa PPh paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) masa pajak September 2014 dilaporkan paling lambat tanggal 20 Oktober 2014.
Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh final 1% dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah menyampaikan/melaporkan SPT Masa PPh, dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM.
Wajib Pajak dengan jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini.
Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli s.d. Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000 untuk setiap masa pelaporan. (SYA)